Sekolah Rakyat Menengah Pertama 22 Sigi, Rintisan Pertama di Sulawesi Tengah

Sejumlah murid mengikuti MPLS di Sekolah Rakyat Menengah Pertama 22 Sigi, Senin (14/7/2025). (Foto: SRMP 22 Sigi)

SIGI, pojokSULTENG | Puwartini tak kuasa menahan air mata saat melihat putranya, Muhammad Akbar, mengenakan seragam sekolah lengkap di hari pertama Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 22 Sigi. “Kami sangat terbantu. Pelayanannya luar biasa,” ujarnya dengan suara bergetar.

Serupa dengan Puwartini, Fitrianti—seorang ibu rumah tangga yang suaminya berprofesi sebagai sopir dengan penghasilan tidak tetap—turut terharu. “Saya berpesan kepada anak saya agar sekolah dengan sungguh-sungguh dan kelak bisa mengangkat derajat orang tuanya. Terima kasih, Pak Prabowo,” ungkapnya sambil memeluk Muhammad Alfathir, putranya.

Sekolah ini bukan sekadar institusi pendidikan biasa. SRMP 22 Sigi mencatat sejarah sebagai rintisan pertama Sekolah Rakyat di Sulawesi Tengah, menjadi pionir dalam implementasi gagasan revolusioner Presiden Prabowo Subianto untuk memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan inklusif.

Meski secara nasional 63 titik Sekolah Rakyat di seluruh Indonesia membuka kegiatan MPLS secara serentak pada hari yang sama, SRMP 22 Sigi memiliki makna khusus sebagai gerbang harapan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem di wilayah Indonesia Timur.

Pionir di Bumi Kaili: Makna Khusus SRMP 22 Sigi

Di tengah lanskap pendidikan Indonesia yang masih berjuang mengatasi kesenjangan akses, kehadiran SRMP 22 Sigi sebagai rintisan pertama Sekolah Rakyat di Sulawesi Tengah membawa makna yang mendalam. Terletak di lingkungan Sentra Nipotowe Palu, sekolah ini menjadi bukti nyata komitmen pemerintah untuk tidak meninggalkan daerah-daerah di Indonesia Timur dalam pembangunan pendidikan.

“Sekolah Rakyat bukan sekadar tempat belajar, tapi tempat anak-anak kami dibentuk untuk percaya diri, berani tampil, dan mampu bersaing secara setara,” jelas Diah Rini Lesmawati, Kepala Sentra Nipotowe Palu, yang memimpin langsung implementasi program ini di Sulteng.

Pilihan Sulteng sebagai salah satu lokasi rintisan bukan tanpa alasan. Sebagai provinsi yang masih menghadapi tantangan kemiskinan struktural, kehadiran SRMP 22 Sigi menjadi simbol harapan bahwa anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem—sebagaimana tercatat dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN)—memiliki kesempatan yang sama untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Sekolah Rakyat lahir dari keyakinan sederhana namun mendalam Presiden Prabowo Subianto: pendidikan adalah kunci untuk memutus rantai kemiskinan. Gagasan ini bukan sekadar slogan politik, melainkan komitmen nyata yang dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025.

“Tidak boleh ada yang tertinggal dalam pembangunan,” tegas Menteri Sosial Saifullah Yusuf yang akrab disapa Gus Ipul, saat memberikan sambutan di pembukaan nasional yang dipusatkan di SRMP 10 Kabupaten Bogor. “Sekolah Rakyat mengedepankan kesetaraan, bukan kesenjangan; menumbuhkan solidaritas, bukan kompetisi yang timpang.”

Filosofi ini menjadi landasan mengapa Sekolah Rakyat dirancang dengan pendekatan yang berbeda dari sistem pendidikan konvensional. Tidak ada seleksi akademik. Yang menjadi syarat adalah identitas sebagai anak dari keluarga miskin berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).

Pendidikan Sebagai Kunci Memutus Kemiskinan

SRMP 22 Sigi menjadi laboratorium hidup bagaimana konsep Sekolah Rakyat diimplementasikan. Sebagai rintisan pertama di Sulteng, sekolah ini memikul tanggung jawab besar untuk membuktikan bahwa pendidikan inklusif bukan hanya mimpi, melainkan kenyataan yang dapat diwujudkan.

Sistem berasrama dengan pengasuhan penuh menjadi ciri khas utama yang diterapkan di SRMP 22 Sigi. Setiap siswa mendapat delapan set seragam lengkap—mulai dari seragam sekolah harian, jas almamater, PDL pramuka, batik, baju olahraga, baju laboratorium, hingga piyama. Mereka makan tiga kali sehari dengan standar gizi yang memadai, ditambah snack dua kali sehari.

“Sebelumnya mungkin mereka minder, tak berani bicara, malu tampil. Sekarang mereka diberi tempat untuk bersinar,” ungkap Diah Rini Lesmawati, melihat transformasi yang terjadi pada anak-anak di sekolah yang dipimpinnya.

Namun yang membedakan SRMP 22 Sigi bukan hanya fasilitas fisik. Setiap siswa menjalani pemeriksaan kesehatan menyeluruh yang mencakup kesehatan umum, gigi, mata, jantung, bahkan DNA test dan analisis AI untuk memetakan potensi dasar mereka. Pendekatan holistik ini memastikan tidak ada aspek tumbuh kembang anak yang terlewat di sekolah rintisan ini.

Perpaduan Pembelajaran Modern di SRMP 22 Sigi

Di era digital, SRMP 22 Sigi sebagai rintisan pertama di Sulteng tidak ketinggalan zaman. Setiap siswa mendapat laptop pribadi, sementara kelas-kelas dilengkapi papan tulis digital. Guru dan tenaga kependidikan dibekali dengan manajemen sekolah berbasis digital dan dilatih dengan sistem manajemen sekolah berbasis teknologi.

Namun teknologi bukan segalanya di sekolah perintis ini. Kerja sama dengan TNI/POLRI memastikan pembentukan kebiasaan hidup sehat, disiplin, serta penguatan literasi dan karakter. Ini adalah perpaduan antara modernitas dan nilai-nilai tradisional yang akan membentuk generasi muda Sulteng yang tangguh.

Sebagai sekolah rintisan, SRMP 22 Sigi menjadi tempat di mana transformasi sosial benar-benar dapat disaksikan. Diah Rini Lesmawati melihat langsung perubahan yang terjadi pada anak-anak di sekolah yang dipimpinnya.

“Kami memastikan ada wali asrama, wali asuh, klinik kesehatan, serta tenaga medis di lingkungan sekolah,” tegasnya, menunjukkan komitmen serius dalam mengelola sekolah rintisan ini.

Transformasi ini bukan hanya soal kepercayaan diri, tetapi juga harapan masa depan. Anak-anak dari keluarga miskin di Sulteng yang sebelumnya terpinggirkan kini memiliki akses yang sama untuk meraih mimpi setinggi langit melalui SRMP 22 Sigi.

Dukungan Keluarga: Kepercayaan pada Sekolah Rintisan

Keberhasilan SRMP 22 Sigi sebagai rintisan pertama di Sulteng tidak lepas dari dukungan orang tua dan masyarakat setempat. Meski awalnya mungkin ada keraguan—melepas anak tinggal di asrama bukanlah keputusan mudah, apalagi untuk sekolah yang baru pertama kali ada di wilayah ini—namun komitmen pengelola untuk memberikan pengasuhan terbaik perlahan membangun kepercayaan.

Diah Rini Lesmawati menyadari beban tanggung jawab yang dipikul SRMP 22 Sigi sebagai sekolah rintisan. “Kami memastikan ada wali asrama, wali asuh, klinik kesehatan, serta tenaga medis di lingkungan sekolah,” tegasnya, menenangkan kekhawatiran para orang tua yang mempercayakan anak-anak mereka pada sekolah perintis ini.

Fitrianti mengakui, keputusan memasukkan anaknya ke SRMP 22 Sigi adalah harapan terakhir untuk mengubah nasib keluarga. “Saya hanya ibu rumah tangga, suami saya sopir dengan penghasilan tidak tetap. Sekolah Rakyat ini sangat membantu,” ujarnya, memberikan kepercayaan penuh pada sekolah rintisan yang menjadi harapan baru bagi keluarga-keluarga miskin di Sulteng.

Ambisi besar Sekolah Rakyat membutuhkan koordinasi lintas kementerian yang solid. Kementerian Sosial ditetapkan sebagai penanggung jawab operasional utama, namun pelaksanaannya melibatkan berbagai institusi dalam satuan tugas terpadu.

Pendekatan ini memastikan tidak ada tumpang tindih program, sekaligus memaksimalkan sumber daya yang ada. Dari 100 titik yang direncanakan, 63 di antaranya sudah mulai beroperasi pada tahap pertama ini.

Pelaksanaan MPLS di SRMP 22 Sigi dan seluruh titik Sekolah Rakyat lainnya menandai dimulainya pembelajaran Tahun Ajaran 2025/2026. Sekolah rintisan yang telah dipersiapkan sejak enam bulan lalu ini akan segera diresmikan secara nasional oleh Presiden Prabowo Subianto.

Bagi SRMP 22 Sigi, peresmian ini memiliki makna khusus. Sebagai rintisan pertama di Sulteng, sekolah ini tidak hanya akan diresmikan, tetapi juga diharapkan menjadi model bagi pengembangan Sekolah Rakyat di wilayah Indonesia Timur lainnya.

Peresmian ini bukan sekadar seremonial, melainkan komitmen negara untuk memastikan bahwa setiap anak Indonesia—termasuk mereka yang tinggal di daerah seperti Sulteng—memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.

Harapan Baru dari Bumi Kaili

Saat matahari terbenam di Sentra Nipotowe Palu pada hari pertama MPLS, Muhammad Akbar dan Muhammad Alfathir—bersama siswa-siswa SRMP 22 Sigi lainnya—menutup hari dengan harapan baru. Mereka adalah generasi pertama yang merasakan langsung manfaat Sekolah Rakyat di Sulteng.

Sebagai sekolah rintisan pertama di wilayah ini, SRMP 22 Sigi bukan hanya tentang memutus rantai kemiskinan, tetapi juga tentang membangun generasi Sulteng yang percaya bahwa mimpi bukanlah kemewahan, melainkan hak setiap anak daerah.

Air mata Puwartini dan Fitrianti pada hari bersejarah itu bukan lagi air mata kepedihan, melainkan air mata harapan—harapan bahwa anak-anak mereka akan menjadi generasi pertama yang berhasil keluar dari lingkaran kemiskinan di Sulteng berkat sekolah rintisan yang kini berdiri di tengah-tengah mereka.

SRMP 22 Sigi: di mana setiap anak dari Bumi Kaili diberi kesempatan untuk bersinar dan menjadi pelopor perubahan. (bmz)

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *