Ramporame Tumbuh Bersama: Sawah, Suara, dan Sebuah Perayaan Rakyat dari Porame

Pengunjung menikmati suasana pada Ramporame Tumbuh Bersama, Sabtu (21/6/2025). (bmzIMAGES/Basri Marzuki)
Pengunjung menikmati suasana pada Ramporame Tumbuh Bersama, Sabtu (21/6/2025). (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

pojokSIGI | Di tengah hamparan sawah dan jejeran pohon kelapa yang tenang, Desa Porame kembali menjadi ruang perjumpaan lintas generasi, lintas gagasan. Selama sepekan, 21 hingga 27 Juni 2025, sebuah perayaan tak biasa kembali digelar: Ramporame Tumbuh Bersama.

Ini adalah edisi keempat dari Ramporame, perayaan yang lahir pada 2022 sebagai inisiatif warga Porame dan para pegiat seni yang mendamba ruang perayaan yang benar-benar “dari dan untuk rakyat”.

Wastra Aksara pada Ramporame Tumbuh Bersama, Sabtu (21/6/2025). (bmzIMAGES/Basri Marzuki)
Wastra Aksara pada Ramporame Tumbuh Bersama, Sabtu (21/6/2025). (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

Tahun ini, namanya berubah. Bukan lagi sekadar festival, tetapi sebuah tumbuh bersama—karena memang begitulah kenyataannya: makin banyak masyarakat dan seniman yang ingin terlibat, menyumbang ide, ruang, dan tenaga.

Dari Kota Palu, lokasi Ramporame terasa seperti sebuah semesta kecil. Ketika malam jatuh, dari arah timur, kerlip cahaya kota membingkai perayaan yang justru memilih senyap daripada hingar-bingar. Tak ada panggung megah. Tak ada pengeras suara yang meraung. Yang ada hanya pondok kecil, panggung alami dari tanah sawah, dan keterlibatan hangat antara penampil dan penonton.

“Pengeras suara terlalu besar justru membatasi relasi kami,” ujar Kukuh Ramadan, pengarah program Ramporame yang konsisten sejak edisi pertama. “Kami memilih dekat, bukan megah.”

Pengunjung bercengkrama di Ramporame Tumbuh Bersama, Sabtu (21/6/2025). (bmzIMAGES/Basri Marzuki)
Pengunjung bercengkrama di Ramporame Tumbuh Bersama, Sabtu (21/6/2025). (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

Segala hal di Ramporame digerakkan lewat urunan: tenaga, makanan, semangat, dan keyakinan bahwa gotong royong masih relevan. Seperti molabe, tradisi lama di mana warga berkumpul tanpa perlu undangan, tanpa perlu imbalan—cukup dengan niat dan rasa memiliki.

Rangkaian acara tahun ini meliputi pameran Wastra Aksara, pemutaran SineNgata (sinema kampung persembahan Halaman Belakang Films), pertunjukan musik, lapak warga, edukasi pertanian anak oleh Ide Ketjil, hingga sesi terbuka yang bisa diisi siapa pun.

Dari jejak para punggava tadulako yang dahulu bermusyawarah di sini, Porame kini menumbuhkan ruang lain: ruang bersepakat, berbagi, dan berekspresi. Seperti namanya—po berarti persatuan, rame berarti perayaan—Ramporame bukan sekadar festival, ia adalah cara untuk terus tumbuh bersama. (bmz)

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *