Menarget Situs Megalit sebagai Warisan Dunia UNESCO pada 2028 di Tengah Jalan Berlumpur

Target megalit Sulawesi Tengah meraih pengakuan UNESCO pada 2028 beradu dengan realitas infrastruktur jalan yang “terlunta-lunta” bertahun-tahun.
pojokSULTENG | Kabut pagi masih menggantung di antara perbukitan Napu dan Behoa, membingkai tenang Lembah Lore yang menyimpan kekayaan prasejarah Nusantara. Di ruang kerja Gubernur Sulawesi Tengah, 200 kilometer dari situs megalit legendaris itu, Anwar Hafid menegaskan dukungannya agar warisan megalitik Sulawesi Tengah dapat ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO pada 2028.
“Ini pekerjaan besar, tapi dengan kolaborasi antara pemerintah daerah, pusat, akademisi, dan masyarakat adat, kita bisa menjadikan Sulawesi Tengah sebagai pusat peradaban yang diakui dunia,” tegas Gubernur dalam audiensi dengan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sulteng Andi Kamal Lembah bersama tim Kemendikbudristek, Jumat (12/9/2025).
Namun di bawah pesona purba itu, jalanan retak, berlubang, dan longsor perlahan-lahan menjadi batas yang memisahkan sejarah dari pengunjungnya. Jalur Napu–Behoa, satu-satunya akses menuju dua ikon megalitikum Sulawesi Tengah—Pokekea dan Tadulako—sudah bertahun-tahun rusak parah.
Peradaban Tertua Dunia yang Terjebak Lumpur
Andi Kamal menegaskan bahwa peninggalan budaya di Sulawesi Tengah, termasuk situs-situs megalitik yang tersebar di Poso, Morowali, Morowali Utara, Banggai hingga Kepulauan Togean, merupakan salah satu pusat peradaban tertua di dunia.
“Peninggalan megalitik Sulawesi Tengah terbukti lebih tua dibandingkan situs sejenis di negara lain. Ini menjadi bukti bahwa daerah kita adalah salah satu pusat peradaban dunia,” ungkapnya.
Berbagai penelitian geologi, arkeologi, hingga DNA telah menunjukkan bahwa jejak budaya di kawasan ini memiliki keterkaitan dengan migrasi masyarakat hingga ke Guam dan Kepulauan Mariana.
Pokekea dan Tadulako bukan sekadar batu tua—mereka adalah saksi hidup peradaban yang diperkirakan berusia lebih dari 3.000 tahun. Kalamba, bejana batu raksasa yang tersebar di situs ini, telah menjadi perhatian arkeolog internasional karena keunikan bentuk dan nilai ritualnya.
Tapi kenyataan di lapangan berbeda. Bukan sekadar tidak mulus, jalur menuju situs bersejarah itu berbahaya. Lubang-lubang dalam, tumpukan batu lepas, dan kubangan lumpur kerap menjerat kendaraan. Di musim hujan, kendaraan bermotor bahkan terpaksa ditinggalkan, dan pengunjung harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki atau menumpang truk warga.
“Kami ingin mengenalkan warisan dunia ini, tapi akses ke sana seakan tidak pernah dianggap penting,” keluh Sunardi, pemandu wisata lokal asal Desa Doda.
Ambisi Besar, Infrastruktur Terbatas
Untuk mendukung target UNESCO 2028, tim teknis Kemendikbudristek bersama Dinas Kebudayaan tengah menyiapkan dokumen perencanaan pengembangan kawasan wisata budaya berbasis kebudayaan untuk periode 2026–2029.
Salah satu langkah strategis adalah penetapan kawasan khusus seluas 100–200 hektare yang akan dikelola bersama pemerintah daerah dan masyarakat adat. Kawasan ini akan dikembangkan secara terpadu dengan infrastruktur pendukung, sehingga tidak hanya menjadi pusat pelestarian, tetapi juga destinasi wisata unggulan Sulawesi Tengah.
Museum Sulawesi Tengah juga akan diperkuat perannya sebagai pusat pengetahuan dan wisata budaya. Saat ini museum menyimpan lebih dari 7.500 koleksi, mulai dari etnografi, arkeologi, hingga tradisi prasejarah seperti pembuatan kulit kayu berusia 4.500 tahun dan gerabah kubur yang disebut terbesar di Indonesia.
Museum akan dikemas lebih modern dengan teknologi digital, fasilitas videotron, dan tata pamer yang menarik. Pada September ini, museum dijadwalkan menerima kunjungan 165 wisatawan mancanegara.
Retorika Versus Realitas
Sulawesi Tengah sudah mendeklarasikan diri sebagai “Provinsi Seribu Megalit”, membanggakan keberadaan patung batu, kalamba, dan struktur batu kuno di Lembah Napu dan Bada. Festival Tampo Lore telah digelar empat kali berturut-turut, menghadirkan tamu nasional dan internasional untuk merayakan identitas budaya Sulawesi Tengah.
Namun, selama itu pula, jalan penghubung ke ikon megalit tetap rusak, tanpa intervensi berarti dari pemerintah.
“Setiap festival, spanduk besar dipasang, tamu datang. Habis itu, kami kembali bergelut dengan jalan rusak dan lumpur,” kata warga Desa Torire.
Potensi wisata dan edukasi tak bisa berkembang. Tak sedikit pengunjung mengurungkan niat setelah membaca ulasan tentang medan ekstrem dan minimnya fasilitas dasar. Riset, dokumentasi, dan pelestarian budaya pun terhambat.
“Kalamba itu sudah mendahului semua kita. Tapi yang lebih purba sekarang adalah jalannya,” ujar Dafa, peneliti budaya asal Makassar, setengah berkelakar.
Warga telah berkali-kali mengajukan permintaan perbaikan melalui musrenbang desa, media lokal, hingga forum publik. Namun hasilnya nihil. Program pembangunan menyasar tempat lain, sementara Behoa dan Napu seperti “dianaktirikan”.
“Kami tidak minta istana. Kami hanya minta jalan. Supaya tamu bisa sampai, anak bisa sekolah, warga bisa hidup lebih layak,” ujar Kepala Desa Bariri.
Jembatan Antara Sejarah dan Masa Depan
Rencana strategis menuju UNESCO 2028 sejalan dengan visi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah melalui program Berani Harmoni dan Berani Cerdas, yang menempatkan kebudayaan sebagai fondasi pembangunan daerah.
Tapi di tengah semangat promosi pariwisata berbasis kearifan lokal, infrastruktur seharusnya menjadi tulang punggung utama. Jalan bukan sekadar akses fisik, melainkan jembatan antara sejarah dan masa depan, antara keingintahuan dan kenyataan.
Pokekea dan Tadulako tetap berdiri kokoh, menantikan langkah-langkah baru yang ingin memahami masa lalu. Tapi selama jalur menuju mereka rusak tanpa solusi, seribu megalit akan tetap jadi seribu alasan untuk tidak datang.
Selama jalur menuju Pokekea dan Tadulako masih rusak, seruan “Seribu Megalit” hanya akan terdengar sebagai gema tanpa jejak. Sebab tak ada warisan budaya yang akan hidup bila ia dipisahkan oleh lumpur, longsor, dan ketidakpedulian.
Target UNESCO 2028 bukan mustahil, tapi butuh lebih dari sekadar dokumen dan festival. Ia butuh jalan yang layak, akses yang memadai, dan komitmen nyata untuk menjembatani jurang antara ambisi dan kenyataan. (bmz)