Ketika Desa Bergerak untuk Pendidikan: Kisah BakuBantu Fest di Jantung Sigi

Di balik hiruk-pikuk festival pendidikan yang ramai, tersimpan cerita tentang mimpi bersama: membangun ekosistem pendidikan yang lebih baik dari tingkat paling dasar
SIGI, pojokSULTENG | Matahari pagi menyinari Gedung Serba Guna Ruang Terbuka Hijau Taman Taiganja dengan hangat. Di sudut-sudut area festival, para siswa sibuk menyiapkan stan kreatif mereka. Ada yang menata hasil karya tulis, ada pula yang mempersiapkan alat peraga pembelajaran sederhana namun inovatif.
Sabtu pagi itu, 2 Agustus 2025, menjadi pembuka dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar festival biasa. BakuBantu Fest, yang digelar selama dua hari di Kalukubula, Sigi, bukan hanya tentang pameran atau lomba. Ini adalah manifestasi dari sebuah keyakinan: bahwa pendidikan berkualitas bisa tumbuh dari mana saja, termasuk dari desa-desa di pelosok Sulawesi Tengah.
Lebih dari Sekadar Festival
“Baku bantu” dalam bahasa lokal Sulawesi Tengah berarti saling membantu. Nama ini dipilih bukan tanpa alasan. Dede, salah seorang panitia penyelenggara dari Yayasan Indonesia Mengajar, menjelaskan bahwa filosofi gotong royong menjadi jiwa dari seluruh kegiatan ini.
“Kami percaya bahwa kemajuan pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab satu pihak, melainkan harus menjadi kerja kolektif,” katanya sambil mengamati antusiasme para peserta yang datang dari berbagai sekolah di Kabupaten Sigi.
Festival ini memang dirancang sebagai ruang pertemuan. Guru bertemu dengan komunitas lokal, siswa berinteraksi dengan pegiat lingkungan, dan orang tua berdiskusi dengan fasilitator pendidikan. Semua elemen masyarakat diundang untuk hadir, bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pelaku aktif perubahan.

Menabur Benih Kesadaran
Rangkaian kegiatan BakuBantu Fest mencerminkan pendekatan holistik terhadap pendidikan. Bukan hanya tentang akademik, tetapi juga karakter, kreativitas, dan kepedulian lingkungan.
Di panggung utama, talkshow pendidikan keluarga menghadirkan diskusi tentang peran orang tua dalam mendampingi anak-anak belajar. Sementara itu, di stan-stan kreatif, para siswa memamerkan hasil karya mereka – mulai dari cerita tentang orang tua hingga alat bantu ajar yang mereka buat sendiri.
Yang menarik, festival ini juga mengintegrasikan pendidikan lingkungan secara nyata. Di hari kedua, para siswa tidak hanya mendengar ceramah tentang kelestarian alam, tetapi langsung menanam pohon dan belajar memilah sampah. Tindakan sederhana yang diharapkan bisa menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
“Kami ingin anak-anak tidak hanya pintar di kelas, tetapi juga peduli dengan lingkungan sekitar mereka,” ujar salah seorang guru pendamping dari SDN Kalukubula.

Ekosistem yang Saling Menguatkan
Konsep “ekosistem pendidikan” yang diusung BakuBantu Fest bukan sekadar jargon. Dalam praktiknya, festival ini benar-benar melibatkan berbagai aktor dengan peran masing-masing.
Guru hadir sebagai fasilitator pembelajaran, komunitas lokal membawa kearifan tradisional, pemerintah daerah memberikan dukungan kebijakan, dan masyarakat umum turut berpartisipasi sebagai audiens sekaligus motivator.
“Layaknya ekosistem alam, setiap komponen memiliki peran penting. Jika ada yang tidak berfungsi optimal, keseluruhan sistem akan terganggu,” jelasnya menggunakan analogi yang mudah dipahami.
Pendekatan ini terlihat jelas dalam berbagai kegiatan. Peluncuran buku kebudayaan lokal, misalnya, melibatkan penulis lokal, budayawan, guru, dan siswa dalam satu panggung yang sama. Malam puisi edukasi sastra lisan menghadirkan cerita-cerita tradisional yang dikemas dalam format modern dan menarik bagi generasi muda.

Dari Roadshow hingga Pendampingan
BakuBantu Fest sebenarnya bukan kegiatan yang berdiri sendiri. Festival dua hari ini adalah puncak dari rangkaian program yang dimulai jauh sebelumnya.
Pada tahap pra-event, tim Indonesia Mengajar melakukan roadshow ke berbagai kecamatan di Sigi untuk mengkampanyekan gerakan ini sekaligus mencari aktor-aktor lokal yang potensial. Mereka juga menjalankan pilot project berupa pendampingan intensif selama 2-3 bulan di sejumlah titik strategis.
“Kami tidak ingin ini menjadi festival sekali jalan. Makanya ada persiapan matang dan akan ada tindak lanjut,” kata Dede menjelaskan visi jangka panjang program ini.
Pasca festival, rencana pendampingan lanjutan akan terus dilakukan. Jejaring yang terbentuk selama festival diharapkan bisa berlanjut menjadi kolaborasi nyata dalam berbagai program pendidikan di daerah.

Dampak yang Terukur
Meski baru berlangsung dua hari, dampak positif BakuBantu Fest sudah mulai terasa. Para guru yang terlibat mengaku mendapat inspirasi baru dalam mengajar. Siswa-siswa peserta terlihat lebih percaya diri dalam mengekspresikan kreativitas mereka.
“Saya jadi tahu kalau ternyata banyak sekali orang yang peduli dengan pendidikan di Sigi. Rasanya kita tidak sendiri,” ungkap Ibu Sari, guru SDN Tongoa yang ikut serta dalam festival.
Bagi siswa, festival ini membuka wawasan bahwa belajar bisa dilakukan dengan cara yang menyenangkan. Mereka juga belajar menghargai lingkungan melalui kegiatan penanaman pohon dan pemilahan sampah.

Mimpi Besar dari Desa Kecil
BakuBantu Fest mungkin terlihat sederhana jika dibandingkan dengan event-event besar di kota metropolitan. Namun, dalam kesederhanaannya, festival ini menyimpan kekuatan luar biasa: kemampuan menggerakkan masyarakat untuk peduli pada pendidikan.
“Kami tidak berambisi menyelesaikan seluruh tantangan pendidikan di Sigi dalam dua hari. Tapi kami yakin, jika semua pihak mau bahu-membahu, perubahan positif pasti akan terjadi,” kata Dede dengan penuh keyakinan.
Festival ini membuktikan bahwa inisiatif perubahan tidak selalu harus datang dari atas atau dari kota besar. Kadang, hal terbaik justru muncul dari kesadaran kolektif masyarakat di tingkat paling dasar.
Ketika sore menjelang di hari kedua festival, suasana Taman Taiganja masih terasa hangat meski kegiatan formal sudah berakhir. Para peserta masih terlihat enggan berpisah, seolah tidak ingin momen kebersamaan ini usai.
Mungkin itulah yang dimaksud dengan “baku bantu” – semangat saling membantu yang tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Semangat yang diharapkan terus hidup jauh setelah festival berakhir, tumbuh menjadi gerakan nyata untuk pendidikan yang lebih baik di Sulawesi Tengah.
Festival BakuBantu memang telah usai, tetapi semangat yang ditanamkannya baru saja dimulai. (bmz)