Donggala Bangkit: Ketika Kota Niaga Bersiap Merajut Kembali Kejayaannya

Di tepian Teluk Palu, sebuah kabupaten berusia 73 tahun tengah bermimpi mengembalikan gemerlap masa lalunya sebagai pusat perdagangan Nusantara
DONGGALA, pojokSULTENG | Angin laut bertiup lembut di Kecamatan Banawa pada Senin sore itu, membawa aroma garam dan nostalgia masa lalu yang pernah menjadikan Donggala sebagai pelabuhan penting di jalur perdagangan Nusantara. Di tengah pesta rakyat yang meriah, ribuan pasang mata menatap penuh harap ke arah panggung sederhana—bukan panggung mewah, tapi ruang silaturahmi antara pemerintah dan rakyat.
“Donggala Bangkit, Donggala Jaya!” seru ribuan suara bersamaan, menggemakan tema peringatan HUT ke-73 yang bukan sekadar slogan, melainkan ikrar kolektif untuk menata masa depan.
Jejak Emas yang Terlupakan
Tiga abad silam, nama Donggala bergema hingga ke Makassar, Surabaya, bahkan Singapura. Kapal-kapal dagang berlabuh di pelabuhannya, memuat kopra, pala, damar, kakao, dan cengkeh yang harum semerbak. Pedagang dari berbagai penjuru Nusantara, bahkan mancanegara, singgah di kota kecil yang kini menjadi ibu dari Provinsi Sulawesi Tengah.
“Donggala memiliki sejarah panjang sebagai kota niaga karena sebagai tempat persinggahan perdagangan antarpulau bahkan antarnegara,” kenang Bupati Donggala Vera Elena Laruni. Baginya, pesta rakyat bukan hanya perayaan, tapi juga momen emosional—pesta rakyat pertamanya sebagai kepala daerah, sebagai anak negeri yang lahir dan tumbuh di tanah Donggala.
Namun kejayaan itu perlahan memudar. Perubahan rute perdagangan, modernisasi pelabuhan di kota-kota besar, dan berbagai tantangan zaman membuat Donggala kehilangan pamor sebagai pusat niaga regional.
Bangkit dari Tidur Panjang
Kini, setelah 73 tahun, semangat untuk bangkit kembali mulai menggeliat. Wakil Gubernur Sulteng dr. Reny A Lamadjido hadir dengan optimisme baru, melihat potensi yang masih tersimpan rapi di balik ketenangan Donggala.
“Donggala terkenal dengan berbagai kekayaan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi identitas sekaligus kekuatan utama dalam pembangunan daerah,” kata Reny, sambil memandang ke arah laut yang pernah menjadi jalan raya perdagangan masa lalu.
Posisi strategis masih ada. Kekayaan sumber daya alam masih melimpah. Potensi pariwisata masih terbuka lebar. Yang dibutuhkan hanyalah sinergi—antara pemerintah dan masyarakat, antara tradisi dan modernitas, antara mimpi masa lalu dan visi masa depan.
Persatuan dalam Keberagaman
Di tengah kerumunan pesta rakyat, terlihat wajah-wajah dari berbagai latar belakang. Petani kopra, nelayan, pedagang, pegawai negeri, hingga anak muda yang baru pulang dari merantau. Keberagaman yang pernah menjadi kekuatan Donggala sebagai kota niaga.
“Perbedaan ini harus disikapi positif sebagai kekuatan untuk memperkuat kebersamaan dan mendukung pertumbuhan ekonomi lokal,” tegas Reny. Pesan sederhana namun mendalam: persatuan, toleransi, dan solidaritas adalah modal utama untuk bangkit.
Bukan tanpa tantangan. Seperti daerah lain di Indonesia, Donggala menghadapi berbagai persoalan pembangunan. Namun di mata para pemimpin dan masyarakatnya, tantangan itu justru menjadi pemicu semangat untuk bergerak bersama.
Mimpi yang Tak Pernah Mati
“Kita harus memiliki keyakinan bahwa dengan bersama-sama bisa membawa Donggala ke panggung kejayaan yang sesungguhnya,” kata Reny dengan penuh conviction.
Keyakinan itu bukan datang dari hampa. Donggala masih memiliki segala yang dibutuhkan: lokasi strategis di jalur perdagangan regional, sumber daya alam yang beragam, budaya yang kaya, dan yang terpenting—masyarakat yang masih memegang erat nilai-nilai gotong royong.
Vera Elena Laruni, dengan latar belakang sebagai anak daerah, memahami betul potensi dan tantangan kampung halamannya. “Membangkitkan Donggala bukan hanya tugas pemerintah daerah tetapi semua pihak termasuk masyarakat Donggala yang bersatu,” katanya.
Panggung Sederhana, Mimpi Besar
Gema “Donggala Bangkit, Donggala Jaya” masih terdengar samar, terbawa angin laut yang sama yang dulu membawa kapal-kapal dagang ke pelabuhan Donggala.
Panggung memang sederhana, bukan panggung mewah seperti kata Bupati Vera. Tapi di atas panggung sederhana itu, sebuah mimpi besar tengah dirajut—mimpi mengembalikan Donggala sebagai kota niaga yang pernah berjaya, dengan cara yang lebih bijak, inklusif, dan berkelanjutan.
Tiga generasi hadir dalam pesta rakyat itu: yang pernah merasakan kejayaan masa lalu, yang mengalami masa transisi, dan yang akan mewarisi masa depan. Semuanya bersatu dalam satu ikrar: Donggala harus bangkit, dan kejayaannya akan kembali.
Angin laut masih bertiup, membawa harapan baru untuk sebuah kabupaten yang pernah menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Nusantara. Dan di antara gemuruh ombak Teluk Palu, terdengar bisikan lembut: kejayaan Donggala belum berakhir, baru akan dimulai. (bmz)