Doa Majelis Dzikir Nuurul Khairaat untuk Indonesia Membahana dari Bukit Batambaya

Suara dzikir dan doa untuk bangsa bergema di ketinggian Bukit Batambaya, menyatukan hati jamaah dalam semangat merawat kemerdekaan yang telah berusia 80 tahun
ANGIN senja bertiup lembut di Bukit Batambaya, membawa suara dzikir dan doa yang khusyuk dari ratusan jamaah Majelis Dzikir Nuurul Khairaat. Di ketinggian Desa Kalora, Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi, mereka berkumpul bukan hanya untuk berzikir, tetapi untuk mengirimkan doa tulus bagi Indonesia yang tengah merayakan HUT ke-80 kemerdekaan.
Senin senja (18/8/2025) itu, Bukit Batambaya seolah menjadi saksi bisu perpaduan spiritualitas dan nasionalisme. Jamaah dari berbagai kalangan—mulai dari anak-anak hingga orang tua—duduk bersila di hamparan rumput hijau beralas karpet plastick berlatar cakrawala Kota Palu.
“Pemandangan ini sangat menyentuh. Melihat anak-anak kecil ikut berzikir bersama ibu dan bapak mereka, semua menyatu dalam satu tujuan: mendoakan Indonesia,” ungkap salah seorang jamaah yang turut hadir dalam acara tersebut.
Penghormatan untuk Para Pejuang
Habib Sholeh bin Abubakar Al-Aydrus, yang akrab disapa Habib Rotan, memimpin acara dengan penuh khidmat. Sebagai Ketua Utama Majelis Dzikir Nuurul Khairaat, ia menekankan bahwa doa bersama ini bukan sekadar ritual keagamaan biasa.
“Ini adalah wujud penghormatan kepada para pahlawan yang telah berjuang merebut kemerdekaan bangsa sekaligus penanda taklim kepada para ulama dan pejuang kemerdekaan di Tanah Kaili,” kata Habib Sholeh dengan suara yang dalam dan penuh makna.
Kehadiran berbagai tokoh penting turut memperkuat makna acara tersebut. Bupati Sigi Moh Rizal Intjenae, Ketua MUI Kabupaten Sigi Habib Ali bin Hasan Aljufri, Kapolres Sigi AKBP Kari Amsah Ritonga, Dandim Sigi, hingga tokoh adat Belota Pura dan Belo Malino, semuanya berkumpul dalam satu barisan, tanpa sekat jabatan atau status sosial.

Momentum Persatuan di Tengah Keberagaman
Yang menarik dari acara ini adalah keberagaman jamaah yang hadir. Tidak hanya kalangan santri, tetapi juga masyarakat umum dari berbagai latar belakang. Ada petani yang baru selesai dari kebun, ibu rumah tangga yang membawa balita, remaja yang datang bersama teman-temannya, hingga para pegawai yang sengaja mengambil waktu setelah jam kerja.
“Zikir dan doa ini bukan hanya untuk mengenang para pahlawan, tetapi juga untuk mendoakan bangsa agar tetap diberi keberkahan,” lanjut Habib Sholeh. “Momentum Hari Kemerdekaan ke-80 RI ini harus menjadi pengingat bagi seluruh masyarakat untuk mempererat kebersamaan.”
Majelis Adat Belota Pura yang turut hadir juga memberikan penekanan khusus tentang pentingnya menjaga warisan nilai budaya dan persaudaraan di tengah masyarakat. Mereka melihat acara ini sebagai jembatan yang menghubungkan tradisi spiritual Islam dengan kearifan lokal Kaili.
Lagu Perjuangan di Bawah Langit Senja
Puncak acara tiba ketika dzikir dan doa bersama telah usai. Jamaah yang terdiri dari berbagai generasi itu kemudian menyanyikan lagu-lagu perjuangan dengan penuh semangat. Suara “Indonesia Raya”, “Hari Merdeka”, dan “Garuda Pandacisa” bergema di udara terbuka Bukit Batambaya.
Yang paling mengharukan adalah ketika anak-anak kecil ikut menyanyikan lagu “Pdamu Negeri” dengan suara merdu mereka. Meski mungkin belum sepenuhnya memahami makna lirik yang mendalam, semangat nasionalisme terpancar jelas dari sorot mata polos mereka.
“Melihat anak-anak ini menyanyikan lagu perjuangan dengan penuh semangat, saya yakin masa depan Indonesia ada di tangan yang tepat,” kata seorang kakek yang hadir bersama cucunya.

Shalat Magrib Bersama di Atas Bukit
Sebagai penutup yang sempurna, seluruh rangkaian acara ditutup dengan shalat magrib berjamaah di hamparan lapang yang indah itu. Ratusan jamaah berbaris rapi menghadap kiblat, dengan latar belakang langit senja yang berubah warna dari jingga menjadi ungu gelap.
Pemandangan itu sungguh memukau—ratusan orang dalam berbagai usia dan latar belakang, bersujud bersama di atas tanah Sulawesi Tengah, di bawah langit yang sama yang melindungi seluruh Nusantara.
“Inilah Indonesia yang sesungguhnya,” bisik seorang jamaah setelah salam. “Berbeda-beda tetapi tetap satu, berzikir bersama untuk tanah air tercinta.”
Bukit Batambaya menjadi saksi bahwa semangat kemerdekaan tidak hanya dirayakan dengan pawai atau upacara formal, tetapi juga dengan doa tulus dan dzikir khusyuk untuk masa depan bangsa yang lebih baik. Suara dzikir yang membahana di ketinggian itu seolah menjadi pesan kepada langit: Indonesia masih memiliki anak-anak yang mencintainya dengan sepenuh hati. (bmz)