Menimbang Tradisi, Pariwisata, dan Pilihan Strategis Festival Budaya di Donggala

Perajin menenun kain Donggala, Sulawesi Tengah, Senin (14/4/2014). (© bmzIMAGES/basri marzuki)
Perajin menenun kain Donggala, Sulawesi Tengah, Senin (14/4/2014). (© bmzIMAGES/basri marzuki)

pojokSULTENG | Matahari sore di Donggala selalu meninggalkan jejak emas di permukaan laut, sementara angin pesisir membawa aroma garam dan cerita-cerita lama. Di wilayah dengan 427 kilometer garis pantai ini, dua tradisi besar sedang bernegosiasi dengan modernitas—layang-layang yang menari di langit dan tenun yang berbisik di tangan-tangan perempuan. Keduanya sama-sama mengklaim sebagai representasi sejati jiwa Donggala, namun membawa konsekuensi yang berbeda bagi masa depan daerah ini.

Bupati Vera Elena Laruni menyebut festival-festival ini sebagai “ikon pariwisata berbasis partisipatif,” namun pertanyaan mendasar tetap menggantung: dalam keterbatasan sumber daya dan perhatian publik, tradisi mana yang seharusnya diprioritaskan sebagai tulang punggung pembangunan berkelanjutan Donggala?

Ketika Langit Donggala Bercerita

September 2025 di Pelabuhan Lama Banawa terasa berbeda. Langit yang biasanya biru polos kini dipenuhi warna-warni layang-layang dari 256 peserta yang datang dari Situbondo hingga Sorong. La Ode Madi, 67 tahun, duduk di pinggir lapangan sambil memperhatikan layang-layang buatannya melayang tinggi. Tangannya yang keriput masih gesit mengatur benang, seolah sedang mendirigeni orkestra angin.

“Dulu, layang-layang itu teman angin kami,” kenangnya, mata masih tertuju ke langit. “Sebelum ada listrik, kami berkomunikasi lewat kode-kode layangan. Sekarang anak-anak lebih suka layar gadget daripada langit.”

Keluhan La Ode Madi bukan tanpa alasan. Festival yang konon pernah digelar pada tahun 1990 itu memang telah bertransformasi dramatis. Yang dulu sekadar permainan komunitas kecil, kini menjadi ajang nasional dengan dukungan penuh KONI, KORMI, dan sponsor swasta senilai ratusan juta rupiah—tanpa sepeser pun dari APBD.

Di sudut lapangan, Ardi (19), mahasiswa dari Palu, sedang asyik merakit layang-layang kreasi. “Ini keren sih, bisa bikin sendiri dan adu teknik,” ujarnya sambil menempel plastik warna-warni. “Tapi saya baru tahu ada filosofi di balik bentuknya setelah ngobrol sama pak tua tadi.”

Inilah paradoks festival layang-layang: spektakuler namun dangkal, viral namun tidak mengakar. Sorak-sorai penonton memang memadati Pelabuhan Lama, bazar UMKM ramai dengan pengunjung yang membeli ikan bakar, tetapi seberapa dalam pengalaman budaya yang mereka dapatkan? Ketika festival berakhir, apa yang tersisa selain foto Instagram dan memori visual yang akan pudar?

Seorang anak menunjukkan layangan aduan yang berhasil diburu pada Festival Layangan di Dongala, Kamsi (25/9/2025). (© bmzIMAGES/basri Marzuki)
Seorang anak menunjukkan layangan aduan yang berhasil diburu pada Festival Layangan di Dongala, Kamsi (25/9/2025). (© bmzIMAGES/basri Marzuki)

Dalam Keheningan, Benang Menyimpan Doa

Kontras dengan hiruk-pikuk Pelabuhan Lama, di rumah tenun Desa Loli, keheningan punya makna tersendiri. Ibu Sitti Ramlah duduk bersila di depan alat tenun gendongan, jemarinya bergerak dalam ritme yang hampir hipnotis. Setiap tarikan benang seperti mantra, setiap simpul seperti doa yang dipanjatkan untuk suami yang sedang melaut.

“Setiap benang adalah harapan,” bisiknya tanpa mengangkat pandangan dari tenunan. “Kalau salah simpul, bisa salah makna. Makanya menenun itu tidak bisa terburu-buru.”

Di seberang ruangan, Nadya (17), siswi SMK, mencoba mengikuti gerakan Ibu Sitti. Tangannya kaku, benang berkali-kali kusut. “Tenun itu cantik, tapi rumit,” keluhnya. “Saya lebih suka bikin desain digital motifnya.” Namun mata gadis itu tidak bisa lepas dari keindahan motif Buya Bomba yang pelan-pelan terbentuk di tangan sang guru.

Festival Tenun Donggala yang digelar Agustus 2023 silam memang tidak spektakuler seperti festival layang-layang. Tidak ada sorak-sorai, tidak ada kompetisi dramatis. Hanya aroma pewarna alami yang menenangkan, suara alat tenun yang ritmis, dan percakapan hangat antara penenun tua dan generasi muda yang ingin belajar.

Dewi (27), desainer, menghabiskan dua hari penuh di festival ini. “Saya datang ke dua festival,” katanya sambil memegang selembar tenun bermotif Buya Subi. “Layang-layang bagus untuk konten sosial media, tapi tenun bikin saya ingin tinggal lebih lama, memahami cerita di balik setiap motif.”

Dr. Pudentia dari Asosiasi Tradisi Lisan Indonesia bahkan menilai Tenun Donggala layak diusulkan sebagai warisan budaya tak benda UNESCO. “Ini bukan sekadar kerajinan,” tegasnya. “Ini sistem pengetahuan yang utuh—dari pewarna alami, simbol spiritual, hingga struktur sosial masyarakat pesisir.”

perajin menyelesaikan pembuatan kain tenun Donggala dengan alat tenun bukan mesin (ATBM) di Desa Towale, Banawa Tengah, Donggala, Sulawesi Tengah, Rabu (30/6/2021). (© bmzIMAGES/basri marzuki)
perajin menyelesaikan pembuatan kain tenun Donggala dengan alat tenun bukan mesin (ATBM) di Desa Towale, Banawa Tengah, Donggala, Sulawesi Tengah, Rabu (30/6/2021). (© bmzIMAGES/basri marzuki)

Dua Dunia, Satu Dilema

Rizal (32) dari Palu mungkin merangkum dilema ini dengan tepat: “Festival layang-layang itu seru, tapi festival tenun bikin saya paham siapa kita.” Pernyataan sederhana ini menyentuh inti persoalan—antara hiburan dan identitas, antara viral dan bermakna, antara dampak sesaat dan transformasi jangka panjang.

Data menunjukkan bahwa festival layang-layang memiliki keunggulan dalam daya tarik visual dan partisipasi lintas daerah. Media sosial dipenuhi foto langit Donggala yang penuh warna, engagement rate tinggi, dan potensi viral yang menjanjikan untuk promosi pariwisata. KORMI dan KONI memberikan dukungan penuh, bahkan berencana menjadikannya bagian dari Fornas (Forum Olahraga Rekreasi Masyarakat) nasional.

Namun, dampak ekonomi festival layang-layang terbatas pada sektor jasa dan perdagangan sementara. UMKM lokal memang merasakan peningkatan omzet selama festival, tetapi tidak ada sistem yang memastikan keberlanjutan dampak ekonomi tersebut setelah festival berakhir.

Festival tenun, sebaliknya, menawarkan dampak struktural yang lebih dalam. CSR perusahaan lokal yang menggelontorkan Rp600 juta untuk modal usaha penenun menciptakan mata pencaharian permanen. Muhammad Wahyudi menegaskan bahwa tenun Donggala memiliki potensi ekspor besar karena motif unik dan teknik khas yang tidak dimiliki daerah lain.

Kadis Pariwisata Muhammad bahkan menyebut tenun sebagai “produk unggulan ekspor dan simbol budaya pesisir.” Proyeksi 10 tahun ke depan menunjukkan tenun berpotensi menjadi pusat pelatihan nasional dan pintu gerbang ekspor ke Asia serta Eropa.

Merajut Strategi di Antara Langit dan Lantai

Benchmarking dengan daerah lain memberikan perspektif menarik. Festival Tenun Flores fokus pada ritual adat dan berhasil menembus pasar Eropa. Festival Layang-Layang Bali (Rare Angon) menjadi ajang internasional dengan nilai spiritual yang kuat. Donggala, dengan dua festival ini, memiliki posisi strategis yang langka—bisa memilih fokus atau mengintegrasikan keduanya.

Namun, dalam konteks pembangunan berkelanjutan, pilihan harus dibuat dengan cermat. Perpres No. 114 Tahun 2022 tentang Strategi Kebudayaan mendorong pemajuan budaya lokal sebagai bagian pembangunan nasional, tetapi dengan sumber daya terbatas, prioritas menjadi kunci.

Festival tenun, dengan segala keterbatasan daya tarik visualnya, menawarkan fondasi yang lebih solid untuk ekonomi kreatif berkelanjutan. Pemberdayaan perempuan, regenerasi pengrajin muda melalui ekstrakurikuler sekolah, dan penciptaan mata pencaharian permanen adalah aset yang tidak bisa diabaikan.

Festival layang-layang tetap penting, tetapi perannya lebih tepat sebagai amplifikasi promosi dan jendela pengenalan Donggala kepada dunia luar. Integrasi keduanya dalam strategi jangka panjang—dengan tenun sebagai inti dan layang-layang sebagai amplifikasi—mungkin adalah jalan tengah yang paling bijak.

Benang-Benang Masa Depan

Sore itu, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat Donggala, La Ode Madi mulai menggulung benang layang-layangnya. Di rumah tenun Desa Loli, Ibu Sitti Ramlah masih setia di depan alat tenunnya, menyelesaikan motif Buya Bomba yang telah dikerjakannya selama berminggu-minggu.

Kedua pemandangan ini adalah metafor Donggala hari ini—antara tradisi yang terbang tinggi namun mudah jatuh, dan tradisi yang tenang namun mengakar kuat. Pilihan tidak harus hitam-putih, tetapi prioritas harus jelas.

Masa depan Donggala, seperti benang-benang dalam tenun Ibu Sitti, memerlukan kesabaran, ketekunan, dan visi jangka panjang. Festival tenun menawarkan jalan yang lebih menjanjikan untuk transformasi berkelanjutan—tidak spektakuler, tidak viral, tetapi bermakna dan memberdayakan.

Sementara langit Donggala akan selalu terbuka untuk layang-layang, adalah lantai—tempat perempuan-perempuan seperti Ibu Sitti menenun harapan—yang akan menentukan seberapa kokoh masa depan Donggala berpijak. (bmz)

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *