Dari Kafe Jakarta hingga Tambang Poboya: Kisah Perjuangan Panjang Rakyat Merebut Hak Tanah

JAKARTA, pojokSULTENG.ID | Di sebuah kafe tak jauh dari Bakrie Tower, Jakarta, Rabu (27/8/2025) sore, dua kelompok yang selama bertahun-tahun berseberangan akhirnya duduk bersama. Muhammad Sulthon, Direktur Legal PT Bumi Resource Minerals (BRMS), dan Kusnadi Paputungan, Koordinator Rakyat Lingkar Tambang, mengakhiri pertemuan dengan sebuah kesepakatan bersejarah.
Surat dukungan yang ditandatangani hari itu bukan sekadar dokumen biasa. Ia adalah buah dari perjuangan panjang masyarakat Poboya yang dimulai dari lorong-lorong sempit Kelurahan Poboya, Mantikulore, Kota Palu, hingga gedung-gedung tinggi Jakarta.
Kusnadi masih ingat betul perjalanan pertama mereka ke Jakarta lima tahun lalu. “Kami naik bus ekonomi, tidur di terminal, demi bertemu perwakilan perusahaan,” kenangnya. Kala itu, permintaan mereka sederhana: pengakuan atas hak mereka untuk menambang emas di tanah leluhur.
Poboya bukanlah desa biasa. Terletak di kaki bukit yang kaya akan kandungan emas, desa ini telah menjadi sumber kehidupan bagi ratusan keluarga selama puluhan tahun. Namun, kehadiran PT Citra Palu Mineral (CPM) dengan kontrak karya yang luas mengubah segalanya.
“Tanah yang selama ini kami garap untuk mencari emas tiba-tiba menjadi milik perusahaan. Kami seperti anak yang terlantar di rumah sendiri,” ungkap Kusnadi dengan nada getir.
Perjuangan masyarakat Poboya bukan tanpa hambatan. Mereka berhadapan dengan perusahaan besar yang memiliki legal standing kuat dan dukungan modal raksasa. Di sisi lain, mereka hanya bermodalkan keyakinan dan solidaritas.
“Berkali-kali kami ditolak, berkali-kali kami pulang dengan tangan kosong. Tapi kami yakin, suara rakyat kecil juga punya hak untuk didengar,” kata Kusnadi.
Momentum berubah ketika isu Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) mulai mendapat perhatian dari Kementerian ESDM. Kebijakan yang memungkinkan masyarakat lokal memiliki izin tambang skala kecil ini menjadi secercah harapan bagi warga Poboya.
Suasana pertemuan di kafe Jakarta itu, menurut Kusnadi, berbeda dari sebelumnya. “Kali ini, kami merasakan atmosfer yang lebih terbuka. Pak Sulthon mendengarkan aspirasi kami dengan serius,” ujarnya.
Muhammad Sulthon sendiri mengakui perubahan pandangan perusahaan. “Kami menyadari bahwa kehadiran perusahaan tidak boleh menghilangkan hak-hak masyarakat lokal. Harmonisasi kepentingan adalah kunci,” katanya.
Surat dukungan yang ditandatangani hari itu memuat komitmen BRMS untuk mendukung penciutan lahan tambang dan membantu proses pengurusan WPR hingga ke Kementerian ESDM.
Bagi masyarakat Poboya, kesepakatan ini bukan akhir perjuangan, melainkan awal dari babak baru. Pertemuan tripartit dengan Wali Kota Palu pada 3 September 2025 mendatang akan menjadi ujian berikutnya.
“Kami berharap Pak Wali Kota bisa menerbitkan surat rekomendasi resmi. Ini akan menjadi kunci pembuka pintu WPR di Kementerian ESDM,” harap Kusnadi.
Di balik semua perjuangan ini, ada visi besar yang ingin diwujudkan: tambang rakyat yang legal, berkelanjutan, dan memberikan manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat lokal tanpa mengorbankan lingkungan.
Pelajaran dari Poboya
Kisah Poboya memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya dialog dan kompromi dalam menyelesaikan konflik sumber daya alam. Ketika kepentingan perusahaan besar bertemu dengan hak-hak masyarakat kecil, solusinya bukan melalui dominasi, melainkan melalui negosiasi yang setara.
“Ini bukan tentang menang atau kalah, tapi tentang bagaimana kita bisa saling menguntungkan,” refleksi Sulthon usai pertemuan.
Sementara itu, Kusnadi optimis bahwa perjuangan mereka akan menginspirasi masyarakat lain di Indonesia yang menghadapi situasi serupa. “Poboya membuktikan bahwa perjuangan yang konsisten akan membuahkan hasil. Rakyat kecil pun bisa bersuara.”
Ketika matahari mulai terbenam di Jakarta, Kusnadi dan timnya bersiap pulang ke Palu dengan hati yang lebih ringan. Di tangannya, surat dukungan itu bukan sekadar kertas, melainkan simbol harapan baru untuk masa depan yang lebih baik bagi masyarakat Poboya. (bmz)