Membangun Desa Tangguh Bencana di Sigi, Perempuan dan Pemuda Jadi Garda Terdepan

pojokSIGI | Di Desa Bangga, Rogo, dan Kaleke, Kabupaten Sigi, masyarakat tak lagi hanya pasrah menghadapi ancaman bencana. Mereka bergerak, belajar, dan bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Ketangguhan tidak lahir dari kepasrahan, tetapi dari kesiapan.
Di penghujung Mei 2025, Yayasan KPKP-ST kembali menggelar Women Gathering ke-3, sebuah program yang memperkuat kapasitas Kelompok Siaga Bencana (KSB), organisasi perempuan, dan karang taruna. Kegiatan ini bukan sekadar diskusi, tetapi langkah konkret membangun Desa Tangguh Bencana (DesTana) yang responsif gender—memberikan peran lebih besar bagi perempuan dan pemuda dalam sistem kesiapsiagaan.
Masyarakat Desa dan Kesiapsiagaan Bencana
Masyarakat di Kabupaten Sigi tidak asing dengan bencana. Gempa dan banjir yang pernah melanda wilayah ini menjadi pengalaman pahit yang tak ingin terulang tanpa persiapan.
Menurut Koordinator Program Hajalia Somba, penguatan kapasitas ini adalah kunci, karena bencana tak hanya mengancam infrastruktur, tetapi juga kehidupan sosial.
“Kami ingin membangun ketangguhan yang menyeluruh, bukan sekadar respons cepat saat bencana terjadi, tetapi juga upaya preventif,” ujar Lia.
Dari Reaktif ke Preventif: Paradigma Baru Penanggulangan Bencana
Dalam sesi bersama BPBD Sigi, Kabid Kedaruratan dan Logistik, Ahmad Yani menekankan bahwa penanggulangan bencana harus bergeser dari reaktif menjadi preventif.
“Dulu, kita baru bergerak setelah bencana terjadi. Sekarang, fokus kita adalah investasi dalam pengurangan risiko,” jelasnya.
Upaya ini tak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah—masyarakat desa harus terlibat langsung. Karena mereka yang terdampak, mereka pula yang harus siap bertahan.
Anggaran Desa untuk Ketangguhan Bencana
Menariknya, kesiapsiagaan bencana tidak hanya soal pelatihan dan simulasi, tetapi juga soal pengelolaan anggaran desa.
Berdasarkan Permendagri Nomor 20 Tahun 2018, anggaran desa tidak boleh hanya berfokus pada penanggulangan bencana saat darurat, tetapi juga harus diintegrasikan dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Pola baru yang diterapkan antara lain menanam pohon di bantaran sungai sebagai bagian dari mitigasi banjir, mengembangkan ekonomi kreatif bagi kelompok perempuan, agar mereka tak hanya bergantung pada sektor pertanian, melibatkan pemuda dalam program keberlanjutan lingkungan.
Perempuan dan Anak dalam Penanggulangan Bencana
Salah seorang peserta diskusi, Khadijah, Sekretaris BPD Desa Bangga, mengangkat isu yang tak kalah penting: pendampingan bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
Menurut Ahmad Yani, pendampingan kasus kekerasan harus masuk dalam anggaran penanggulangan bencana, karena termasuk situasi darurat non-alam yang membutuhkan penanganan cepat.
Pendanaan bisa digunakan untuk layanan kesehatan bagi korban kekerasan, pendampingan hukum hingga ke pengadilan, dan edukasi dan pencegahan kekerasan berbasis komunitas
Mimpi Besar Desa Tangguh Bencana
Program ini bukan sekadar teori. Desa Kaleke sudah membuktikan komitmennya sejak 2022, dengan mengalokasikan dana bagi Satgas PPA, yang naik dari Rp5 juta menjadi Rp12 juta pada 2025.
“Kami ingin masyarakat sadar bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak bukan hanya tugas aparat, tetapi kewajiban sosial seluruh warga,” ujar Kepala Desa Muhammad Taufan, ST.
Dengan semakin banyak desa yang memasukkan penanggulangan bencana dalam kebijakan pembangunan, Kabupaten Sigi bukan lagi korban bencana yang pasif, tetapi masyarakat tangguh yang siap menghadapi tantangan alam dan sosial. (bmz)